Puasa, lebaran dan bermaaf-maafan di Indonesia, tidak lagi jadi sekedar ibadah. Tetapi kesemuanya itu telah menjadi sebuah tradisi, yang ada perayaannya tersendiri di negeri ini. Masyarakat Indonesia bersuka cita menyambutnya. Tetapi adalah sebuah kesalahan, apabila kesemuanya itu dijalani hanya dengan dasar ikut-ikutan tanpa paham akan esensi ibadah itu yang sebenarnya. Ketika malam awal puasa akan dijumpai bahwa tarawih hari pertama akan begitu ramai, masji-masjid dipenuhi dengan para jamaah. Tak sedikit dari kerumunan jamaah itu hanya ikut-ikutan dalam euforia awal Ramadhan. Ibadah yang dijalani tanpa ilmu dan tanpa makna, sia-sia lah saja.
Hal itu dapat dilihat, pada malam-malam selanjutnya, jumlah jamaah akan semakin turun dan pada malam-malam terakhir yang diyakini sebagian besar kita bahwa di antara waktu itulah laialtul qadar turun, jumlah jamaah makin sedikit saja. Ada apa ini? Euforia semakin menurunkah?
Puasa dan tarawih, di masa baru-baru ini rasanya kebanyakan dijalani orang hanya sebagai ritual dan ikut-ikutan belaka. Sayang sungguh sayang. Dan banyak orang yagn berpuasa hanya mendapat lapar dan dahaga belaka, karena kurangnya ilmu tentang puasa dan kurangya kesungguhan dalam menjalaninya.
Di Indonesia, dalam tradisi masyarakatnya kini, tampaknya buka dan sahur itu menjadi sebuah ritual yang lebih penting daripada puasa itu sendiri. Lihat saja, sore hari menjelang berbuka, jalan-jalan penuh dengan berbagai makanan yang dijajakan dan orang-orang berdesakan untuk membelinya. Ibu-ibu pun sibuk mempersiapkan makanan terbaik untuk berbuka puasa. Bahkan makanan yang disiapkan jauh lebih enak daripada makanan yang biasa mereka hidangkan di hari-hari biasa. Seakan-akan berbuka puasa itu harus dengan yang mewah. Padahal berbuka puasa itu tidak harus dengan makanan mewah, tidak harus dengan kolak, es kelapa muda, atau macam-macam makanan lain yang katanya identik dengan bulan puasa. Sebagai pengecualian adalah kurma, yang memang disunahkan oleh Rasulullah untuk berbuka dengan kurma. Alih-alih waktu habis untuk mengantri makanan, alangkah baiknya apabila waktu digunakan untuk tadarus Al Quran.
Lebaran, pun tidak beda dengan puasa tadi, yang nyata-nyata telah menjadi sebuah tradisi dan ritual meriah di bangsa kita ini. Di hari-hari menjelang lebaran, orang-orang malah lebih sibuk untuk mempersiapkan baju baru, makanan lebaran, atau pun kue-kue lebaran, alih-alih mengisi hari-hari terakhir puasa dengan i’tikaf serta memantapkan ibadah di detik-detik terakhir Ramadhan itu. Sebagai contoh saja, untuk masalah kue lebaran, tidak sedikit ibu-ibu yang amat memikirkannya dan ingin rotinya bervariasi dan harus enak. Yang harus dicatat disini, esensi dari menghidangkan kue lebaran itu tiada lain sebagai wujud upaya penghormatan kita kepada tamu yang berkunjung, jangan diniatkan yang lain.
Berbuka puasa dan lebaran itu memang patut kita lakukan dan rayakan dengan gembira, tapi bergembira pun harus bergembira yang Islami, yaitu gembira yang wajar tidak berlebih lebihan serta penuh syukur. Adalah sebuah realita yang nyata, bahwa di sekitar kita ini banyak yang menjadikan momen buka puasa sebagai ajang “balas dendam” setelah berpuasa seharian dan lagi momen Idul Fitri sebagai “balas dendam” besar-besaran setelah sebulan penuh berpuasa.
Dan yang terakhir, tradisi bermaaf-maafan. Sudah jadi kebiasaan di bangsa ini untuk melakukan acara syawalan atau halal bihalal yang acara utamanya adalah saling maaf-maafan. Tiada yang salah dalam tradisi ini, tetapi alangkah baiknya apabila saling bermaafan ini tidak hanya dilakukan setahun sekali saat lebaran, tetapi setiap saat setelah berbuat kesalahan hendaknya kita saling bermaafan. Karena ibadah-ibadah dan taubat yang kita lakukan adalah semata menghapuskan dosa kita kepada Allah, bukan kepada sesama manusia, dan dosa kepada sesama manusia hanya dapat dihapuskan setelah kita saling bermaafan.
Dan satu lagi yang menarik di Indonesia adalah kadang penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H tidak seragam, ada yang lebaran atau Idul Fitri lebih dahulu. Tapi semoga tahun 1432 H ini Idul Fitri di Indonesia bisa serempak :)
Akhirul kata, salah satu solusi untuk memperbaiki tradisi-tradis yang agak melenceng ini, mari kita tanamkan pada generasi muda, terutama yang masih anak-anak untuk memahami segala esensi dan nilai ibadah sebenarnya dari Puasa, Lebaran dan Bermaaf-maafan tadi. Pendidikan macam TPA harus dimaksimalkan fungsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar